
Baru-baru ini, media asal Inggris The Guardian merilis sebuah artikel berjudul “Indonesian president Prabowo’s first 100 days marked by u-turns, misstep and sky-high popularity”. Artikel tersebut ditulis oleh Kate Lamb, kolumnis yang berbasis di Sydney, Australia, dan menyoroti perjalanan awal pemerintahan Presiden Prabowo.
Dalam tulisannya, Lamb mencatat tingginya tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja 100 hari pertama Presiden Prabowo. Data dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Januari lalu menunjukkan bahwa 81,4 persen publik menyatakan puas dengan kinerja Presiden.
Menurut mantan koresponden senior Reuters Indonesia itu, lonjakan kepuasan publik ini dipengaruhi oleh janji ambisius pemerintah dalam menyediakan makanan gratis bagi hampir 90 juta pelajar serta kemenangan telak dalam pemilu Februari tahun sebelumnya.
Namun, di balik angka kepuasan yang tinggi tersebut, kebijakan efisiensi anggaran yang dijalankan oleh Kabinet Merah Putih justru menimbulkan keprihatinan. Pemerintah melakukan pemangkasan besar-besaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 hingga mencapai Rp 306,69 triliun. Kebijakan ini menimbulkan konsekuensi serius yang perlu ditinjau ulang.
Merujuk laporan Investor Daily edisi 11 Februari 2025, setidaknya 2,1 juta pekerja berpotensi mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai akibat dari penghematan anggaran di Kementerian Pekerjaan Umum. Anggaran kementerian ini dipangkas hingga 80 persen—dari Rp 110,95 triliun menjadi hanya Rp 29,57 triliun—dan menjadi penyebab utama gelombang PHK tersebut.
Itu baru satu contoh dari dampak kebijakan efisiensi. Masih banyak isu lain seperti gelombang PHK di berbagai sektor, kemunculan tagar viral #KaburAjaDulu, lonjakan Uang Kuliah Tunggal (UKT), pengurangan anggaran beasiswa, dan sejumlah persoalan lainnya yang muncul sebagai efek domino dari kebijakan ini.
Dengan demikian, walaupun efisiensi anggaran sangat diperlukan untuk tata kelola negara yang lebih baik, pelaksanaannya harus dilakukan dengan penuh pertimbangan. Kebijakan efisiensi semestinya tidak menimbulkan kerugian yang justru melemahkan fondasi sosial dan ekonomi bangsa.
Oleh karena itu, memahami secara menyeluruh prinsip dan implementasi efisiensi menjadi sangat penting. Tanpa perencanaan dan kajian yang matang, efisiensi yang seharusnya membawa manfaat bisa justru menjadi sumber krisis baru bagi Indonesia.